Allah Subhanahu Wata'ala berfirman:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعُ عَلِيمُُ
Artinya :”Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap maka disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmatNya) lagi Mahamengetahui”. (QS.al-Baqarah: 115)
Ayat ini –wallahu a’lam-, mengandung hiburan bagi Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya yang diusir dari Makkah dan dipisahkan dari masjid dan tempat shalat mereka. Dulu Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat di Makkah dengan menghadap ke Baitulmaqdis, sedang Ka’bah berada dihadapannya. Dan ketika hijrah ke Madinah, beliau dihadapkan langsung ke Baitulmaqdis selama 16 atau 17 bulan. Dan setelah itu, Allah Ta’ala menyuruhnya menghadap Ka’bah. Oleh karena itu Allah berfirman { وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ }artinya, “Dan kepunyaan Allah timur dan barat, maka kemanapun kalian menghadap disitulah wajah Allah.”
Dalam kitab an-Nasih wal-Mansuuh, Abu Ubaid, Qasim bin Salamah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata :”ayat al-Qur’an yang pertama kali dinasakh bagi kami yang telah diceritakan kepada kami –wallahu a’lam- adalah masalah kiblat.
Allah berfirman yang artinya, “Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kalian menghadap disitulah wajah Allah.” Maka Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam menghadap dan mengerjakan shalat kea rah baitulmaqdis dan meninggalkan Baitulatiq (Ka’bah). Setelah itu Allah Ta’ala memerintahkannya untuk menghadap ke Baitulatiq, dan Diapun menasakh perintahNya untuk menghadap ke Baitulmaqdis. Dia pun berfirman, artinya :’Dan dari mana saja engkau keluar, maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidilharam. Dan dimana saja kamu berada, maka palingkanlah wajah kalian kearahnya.” (QS. Al-baqarah: 150)
Ibnu Jarir mengatakan, para Ulama yang lain mengemukakan, ayat ini turun kepada Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam sebagai pemberian izin dari Allah bagi beliau untuk mengadakan shalat sunnah dengan menghadap kemana saja, dalam keadaan perang yang kerkecambuk, dan dalam keadaan yang sangat takut.
Abu Kuraib pernah menceritakan kepada kami dari Ibnu Umar, ‘bahwasanya beliau pernah mengerjakan shalat kea rah mana saja binatang kendaraanya itu menghadap’.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukan hal seperti itu dalam menafsirkan ayat ini :”Maka kemanapun kalian menghadap di situ wajah Allah.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, at-Tirmizdi, an-Nasa’I, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih melalui beberapa jalan dari Abdul Malik bin Abi Salamah. Dan dalam kitab Shahihain, hadits itu berasal dari Ibnu Umar dan amir bin Rabi’ah tanpa menyebutkan ayat itu.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukan hal seperti itu dalam menafsirkan ayat ini :”Maka kemanapun kalian menghadap di situ wajah Allah.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, at-Tirmizdi, an-Nasa’I, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih melalui beberapa jalan dari Abdul Malik bin Abi Salamah. Dan dalam kitab Shahihain, hadits itu berasal dari Ibnu Umar dan amir bin Rabi’ah tanpa menyebutkan ayat itu.
Sedangan dalam kitab Shahih al-Bukhari diriwayatkan sebuah hadits dari Nafi’ dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah ditanya mengenai shalat Khauf dan (pengaturan) shafnya. Lalu ia mengatakan :”Jika rasa takut sudah demikian mencekam maka mereka mengerjakannya dalam keadaan berjalan di atas kaki mereka atau sambil berkendaraan, dengan menghadap kiblat atau tidak menghadapnya.”
Nafi’ menuturkan :”Aku tidak mengetahui Ibnu Umar mengatakan hal itu kecuali bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Permasalahan :
Dalam riwayat yang masyhur dari Imam Syafi’I, dia tidak membedakan antara perjalanan biasa maupun perjalanan dalam menghadapi musuh. Di dalam semua itu, boleh mengerjakan shalat sunnah diatas kendaraan. Demikian pula pendapat Abu Hanifah. Berbeda dengan pendapat Imam Malik dan jamaahnya.
Sedangkan mengenai pengulangan shalat karena adanya kesalahan yang tampak jelas dalam menghadap kiblat, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :”Antara timur dan barat itu adalah kiblat.” Lebih lanjut Imam at-Tirmidzi mengatakan :’derajat hadits ini adalah hasan shahih’.
Diceritakan dari Imam al-Bukhari, ia mengatakan hadits ini lebih kuat dan lebih shahih dari hadits Abu Ma’syar. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :”Antara timur dan barat adalah kiblat,” menurut Imam at-Tirmidzi diriwayatkan dari beberapa sahabat, diantaranya adalah Umar bin al-Khattab dan Ali bin Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum.
Ibnu Umar mengatakan :”Jika engkau posisikan arah barat berada disebelah kananmu dan arah timur berada di sebelah kirimu, maka diantara keduanya adalah kiblat, jika engkau mencari kiblat.”
Makna firman Allah { إِنَّ اللَّهَ وَاسِعُ عَلِيمُُ} “Sesungguhnya Allah Mahaluas Lagi Mahamengetahui”, menurut Ibnu Jarir, bahwa Dia meliputi semua makhlukNya dengan kecukupan, kedermawanan dan karunia. Sedangkan makna firmanNya { عَلِيمُُ} “Mahamengetahui”, yakni Dia mengetahui semua perbuatan makhlukNya. Tidak ada satu perbuatanpun yang tersenbunyi dan luput dariNya, tetapi sebaliknya, Dia Mahamengetahui keseluruhan perbuatan mereka.
Sumber : Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, penyusun DR. Abdullah bin Muhammad, Abdurrahman bin Ishaq Aal- asy-Syaikh. (Pustaka Imam Syafi’i)
No comments:
Post a Comment